SHARE

Ilustrasi

CARAPANDANG.COM - Para orang tua mulai risau, apakah di tahun ajaran baru ini dapat menyekolahkan dan menguliahkan anak-anaknya dalam situasi yang tak pasti. Bagi keluarga yang mampu juga tak seutuhnya ingin menyekolahkan anaknya dengan penuh risiko. Apalagi dengan keluarga yang terpuruk secara ekonomi, yang kali ini diimpit persoalan pendidikan. 

Sejak Covid-19 dinyatakan sebagai kejadian luar biasa, pendidikan termasuk salah satu aspek kehidupan yang merasakan dampak besarnya. Kegiatan belajar-mengajar tak lagi tatap muka, semuanya dialihkan dengan metode online.  Aktivitas pedagogis dilakukan di rumah (study from home). Tugas, ujian, pengumuman dan penerimaan siswa baru dilakukan secara online

Memasuki perkembangan berikutnya, kebijakan protokol kesehatan yang dikemas dalam pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan secara ketat pada gilirannya mengalami perubahan dalam bentuk relaksasi dengan pendekatan new normal. Diharapkan dengan pendekatan tersebut meski rentan terjadinya risiko, ada aktivitas masyarakat yang dapat dilakukan untuk menggerakan kembali roda ekonomi dan aktivitas lainnya dengan standar kesehatan.

Kendati tujuannya untuk menghidupkan kembali elan vital yang selama ini meredup, namun kelenturan seperti itu menyisakan kerisauan khususnya dalam dunia pendidikan. Apakah orang tua siap melepaskan anak-anaknya ke sekolah dalam situasi yang berisiko ini. Di satu sisi Negara berkewajiban melaksanakan amanah undang-undang pendidikan, di sisi lain berkewajiban melindungi warga negaranya.
    
Pembukaan Sekolah 

Bercermin pada kondisi itu, pada 20 Mei 2020, melalui siaran persnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, berupaya mencari jalan keluar dengan skenario yang ada. Pembukaan kegiatan belajar-mengajar beserta metodenya disesuaikan dengan dengan pertimbangan gugus tugas. Nadiem Makarim menekankan bahwa berdasarkan pertimbangan, keputusan tersebut telah dikoordinasikan dengan gguus tugas percepatan penanganan virus, bukan sepihak Kemendikbud dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI.

Jelas bahwa keterangan Kemendikbud untu menjawab rumor yang beredar di tengah masyarakat berkenaan dengan kabar Kemendikbud akan membuka sekolah di tahun ajaran baru di bulan Juli. Yang menarik dalam siaran pers-nya, “Kemendikbud menilai saat ini tidak diperlukan adanya perubahan tahun ajaran maupun tahun akademik. Tetapi metode belajarnya apakah belajar dari rumah atau sekolah akan berdasarkan pertimbangan gugus tugas,” jelas Mendikbud. 

Berpijak dari skenario Kemendikbud di atas, sekurangnya ada dua hal yang dapat dibicarakan. Pertama, sikap kritis perlu didedahkan sekaligus menjawab rumor bahwa kembali ke sekolah bermakna pendekatan belajar-mengajar yang penting dipikirkan agar guru dan peserta didik tetap nyaman dan aman berinteraksi baik di rumah atau di sekolah dengan catatan pertimbangan gugus tugas. Dengan demikian keprihatinan bersama ini melekat dalam aspek pedagogis. Namun, yang perlu mendapat catatan penting adalah tidak semua peserta didik jika dilakukan dengan metode online di rumah dapat mengakses kegiatan belajar-mengajar secara online mengingat faktor ekonomi dan geografis yang berbeda-beda.

Kedua, jika dilakukan kebijakan kembali ke sekolah dengan metode tertentu, atas pertimbangan kesehatan, maka pemerintah harus menyelamatkan kepentingan manusia di atas kepentingan lainnya dengan tetap menggerakkan spirit pedagogis agar penolakan-penolakan yang datang dari suara masyarakat dapat dijawab dan dipertanggungjawabkan atas dasar pertimbangan kemanusiaan.

Karena itu dari dua hal ini, masyarakat mendapat informasi yang jelas termasuk di dalamnya informasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang dilaksanakan di setiap daerah dengan senantiasa mempertimbangkan otoritas pemerintah daerah dalam bidang pendidikan sehingga ada regulasi yang memudahkan ikhtiar tersebut dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan nilai-nilai pedagogis di tengah wabah pandemi.

Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 tahun 2019, bahwa PPDB dilakukan berdasarkan prinsip non-diskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Keterbukaan terhadap informasi ini juga senafas dengan prinsip pendidikan untuk semua (education for all) yang menjadi hak setiap warga negara Indonesia yang telah dijamin dalam konstitusi negara sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945. 

Ujian Pedagogi Humanis 

Kebijakan pedagogis yang dikeluarkan pemerintah tak akan bermakna jika persoalan pendidikan dan kemanusiaan tak tersentuh. Dalam situasi pandemi, terlihat dengan jelas bahwa persoalan kemiskinan tak dapat diabaikan sebagai ujian pedagogi humanis. Hilangnya sumber-sumber pendapatan ekonomi suatu keluarga imbas dari Covid-19 berdampak dengan seberapa mampu para orang tua menyekolahkan anak-anaknya.

Mereka yang dari keluarga tidak beruntung, tetap sebagai gambaran kaum terpinggirkan yang sulit mengakses hak-hak pendidikan. Kemurahan hati untuk membebaskan mereka yang terpinggirkan dari bencana ini tentu bukan semata-mata tugas pemerintah, tapi tugas setiap insan yang tidak menyangkal bahwa dirinya sebagai makhluk pedagogis yang membutuhkan ruang dialogis untuk saling mendengar dan memahami tentang sikap dan pengharapan sebagai manusia yang realitasnya bukan makhluk yang telah selesai.

Untuk itu, menghayati kembali pedagogi humanis adalah jalan menuju terbukanya kesadaran kolektif menumbuhkan rasa saling percaya, cinta-kasih dan kepedulian terhadap sesama. Bila kesadaran kolektif ini dapat tersajikan, kodifikasi informasi dengan sendirinya dapat disebarluaskan meski dalam situasi yang penuh risiko agar literasi pedagogis masyarakat tumbuh dan mampu menjawab dampak virus corona yang membatasi kreativitas manusia. [*]

*Oleh:  Nazhori Author

Penulis merupakan Dosen AIK di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UHAMKA

Tags
SHARE