Selain itu, dia juga meminta agar pemerintah merombak tata kelola migas yang jauh dari intervensi atau kepentingan partai politik.
"Karena sudah menjadi rahasia publik, bahwa selama ini BUMN, menjadi sapi perah bagi partai politik, sehingga pelaksanaan tugasnya banyak disiasati," ungkap Mulyanto.
"Ini kan kasus lama yang terus berulang, baik dari zaman sebelum Petral, sampai Petral dibubarkan. Jadi jangan salahkan publik kalau pengungkapan kasus ini dinilai sekedar pergantian pemain baru, bisa jadi kasusnya berulang,” jelas dia.
Ia menambahkan kasus ini terlihat bahwa tindak korupsi dimulai dari hulu. Para tersangka melakukan pengkondisian untuk menurunkan readiness/produksi kilang.
Kemudian, menolak minyak mentah dari produksi domestik karena dianggap tidak memenuhi spek dari sisi harga dan kualitas.
Akibatnya minyak bumi produksi domestik tidak terserap. Lalu, untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah maupun BBM dalam negeri, dilakukan impor. Selanjutnya terjadilah berbagai modus korupsi terkait impor migas tersebut.
"Ini kan korupsi terstruktur dan berjamaah, yang terjadi dalam kurun waktu yang panjang tanpa diketahui aparat, yakni dari 2018-2023," ungkapnya lagi.
"Untuk membangun kepercayaan publik tidak mudah, tanpa itikad baik, kinerja yang unggul dan konsisten," katanya.